Memulai Transparansi dari Masjid
Masjid adalah rumah ibadah umat Islam sekaligus sebagai ruang
public (public space) yang dapat diakses oleh umat kapan saja. Setiap
muslim merasa memiliki masjid. Karenanya pendanaan pemeliharan,
pengelolaan dan pembangunannya dilakukan secara bersama-sama agar tidak
ada satu orangpun otoritas. Apalagi mengklaim bahwa masjid tertentu
sebagai miliknya dan menutupi akses kepada publik ataupun sampai ada
yang mengklaim bahwa tanpa keberadaan dirinya niscaya kegiatan di masjid
tertentu tidak akan berjalan. Dalam tradisi Aceh, pembangunan sebuah
masjid tidak pernah mengenal kata selesai. Masjid selalu dalam proses
pembangunan atau pemeliharaan. Karena itulah struktur panitia
pembangunan masjid tidak pernah bubar. Ketika suatu masjid sudah rampung
dari segi fisik, maka panitia pembangunan bertugas menjaga dan
memelihara bangunan yang sudah ada agar tetap terawat.
Dana pemeliharaan, pengelolaan dan pembangunan masjid berasal dari
berbagai sumber. Ia berasal dari sumbangan orang miskin dan orang kaya.
Biasanya panitia tidak pernah memberikan patokan jumlah sumbangan.
Masjid tidak pernah menolak berapa pun jumlah sumbangan yang dititipkan
jamaah. Orang kaya dan orang miskin secara sama-sama memiliki peluang
beramal membangun masjid, sesuai kemampuan dan keikhlasan. Ketika
masyarakat hendak mendirikan masjid, biasanya panitia bekerja ekstra
keras guna mendapatkan modal awal pembangunan. Pertapakan lokasi masjid
juga biasanya didapat dari hibah (waqaf) umat. Dalam Islam, harta yang
telah diwaqafkan ini diyakini akan terus mengaliri pahala kepada
pewaqaf, walau yang bersangkutan sudah wafat.
Barangkali ada yang bertanya-tanya ketika melihat suatu desa miskin
tetapi memiliki sebuah masjid yang berdiri megah di antara rumah- rumah
kayu nan reot. Rasa penasaran itu akan terjawab jika kita mengetahui
bahwa dana pembangunan masjid yang mencapai miliaran rupiah itu
dikumpulkan selama bertahun-tahun. Ada yang bersumber dari sumbangan 1
butir telur ayam, kumpulan recehan dari celengan, hingga bantuan orang
tertentu dalam jumlah puluhan dan ratusan juta rupiah.
Begitulah tradisi turun-temurun dalam membangun dan memelihara
masjid. Melihat kepemilikan masjid secara berjamaah, maka keterbukaan
(transparansi) dalam pengelolaan dana masjid menjadi suatu keharusan.
Umat berhak mendapatkan informasi yang jelas dan terbuka mengenai status
keuangan sebuah masjid. Seseorang yang hanya menyumbang uang recehan
1.000 rupiah dalam batinnya dipastikan menginginkan agar dana
sumbangannya itu digunakan untuk tujuan pemakmuran masjid.
Pada masjid yang dikelola secara transparan biasanya terpampang
sebuah papan pengumuman mengenai status keuangan yang selalu up to date.
Rincian aliran uang keluar masuk terlihat jelas di papan itu, di
samping pengumuman rutin setiap Jum´at. Para penyumbang dipastikan puas
jika dana yang mereka infaqkan itu dapat dipertangunggjawabkan secara
terbuka, walau pun dirinya hanya tak mau namanya terpampang dan hanya
menggunakan nama sebagai hamba Allah. Memang, terdapat hak pengelola
seperti honor bileu (bilal), imam, khatib dan biaya operasional lainnya.
Hak-hak para pengurus masjid itu menjadi suatu tradisi yang dibenarkan,
asal jangan jadi meuhai taloe ngen keubeu (tidak terlalu besar). Umat
merelakan sebagian dana itu (dalam jumlah yang wajar) digunakan sebagai
honor para pengurus yang sudah mengabdikan diri untuk pemakmuran masjid.
Sebaliknya, umat akan marah jika penggunaan dana masjid ternyata tidak
amanah.
Modal dan model membangun
Salah satu hasil survey yang dilakukan Public Interest Research and
Advocacy Center (PIRAC) pada tahun 2000, sebagaimana dilansir Zaim Saidi
dan Hamid Abidin dalam bukunya Menjadi Bangsa Pemurah, Wacana dan
Praktek di Indonesia, adalah dominannya peran agama dalam mempengaruhi
seseorang untuk menyumbang. Hampir seluruh (99 persen) dari 2.500
responden mengaku menyumbang karena dorongan agama. Hasil survey ini
diyakini sesuai dengan realita praktik umat beragama, khususnya Islam.
Ajaran Islam menganjurkan umatnya untuk berderma di jalan Allah melalui
infaq, shadaqah, waqaf dan zakat. Khusus untuk zakat bahkan menjadi
suatu kewajiban. Kondisi ini menjadi modal sangat berguna dalam
pembangunan dan pengembangan agama. Jika dana sumbangan itu dikelola
secara transparan, maka dipastikan akan semakin mengundang kepercayaan
umat. Umat akan berlomba-lomba memberikan sumbangan untuk masjid yang
keuangannya dikelola secara transparan. Inilah salah satu faktor yang
menjadikan masjid tertentu cepat terbangun.
Simbol transparansi
Dana pemeliharaan, pengelolaan dan pembangunan masjid merupakan dana
umat yang harus dikelola secara transparan dan dapat dipertanggung
jawabkan. Ia dapat menjadi simbol dan titik awal penciptaan transparansi
pengelolaan dana publik. Dana masjid juga merupakan dana umat atau dana
publik, maka sumber-sumber dana publik di atas harus dikelola secara
transparan dan akuntabel. Publik berhak memperoleh informasi yang
sesungguhnya tentang dananya.
0 komentar "Memulai Transparansi dari Masjid", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar